Salah satu tujuan didirikannya Negara adalah
untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, meningkatkan harkat dan martabat
rakyat untuk menjadi manusia seutuhnya. Demikian juga Negara Republik Indonesia
sebagai negara merdeka dan berdaulat mempunyai tujuan dalam menjalankan
pemerintahannya. Pembangunan di segala bidang dilakukan untuk membentuk
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Tujuan bangsa Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara RI Tahun 1945 Alenia IV,
yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Untuk mencapai tujuan tersebut dalam melaksanakan tugas
pemerintahan dan pembangunan senantiasa suatu negara memerlukan beberapa unsur
pendukung, salah satunya adalah tersedianya sumber penerimaan yang memadai dan
dapat diandalkan. Sumber-sumber penerimaan ini sangat penting untuk menjalankan
kegiatan dari masingmasing tingkat pemerintahan, karena tanpa adanya penerimaan
yang cukup maka program-program pemerintah tidak akan berjalan secara maksimal.
Semakin luas wilayah, semakin besar jumlah penduduk, semakin kompleks kebutuhan
masyarakat maka akan semakin besar dana yang diperlukan untuk membiayai
kegiatan pemerintahan dan pembangunan.
Selain dari itu, dalam rangka efektifitas pelaksanaan pembangunan
di segala bidang, demi tercapainya keselarasan dan keseimbangan seluruh
kegiatan pembangunan, maka diperlukan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya
bagi seluruh rakyat. Oleh karena itu tidak semua urusan pemerintahan
dilaksanakan oleh pemerintah pusat, akan tetapi daerah diberikan kewenangan
untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Maka sistem pemerintahan negara
Indonesia yang merupakan negara kesatuan berbentuk republik, dibentuk pemerintahan
daerah sesuai Pasal 18 Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Pada masa reformasi, pemerintah Indonesia mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah bahwa kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan dibidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan yang utuh dan
bulat dalam penyelenggarannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pengendaliaan dan evaluasi.
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah menurut penjelasan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, khususnya di dalam penjelasan umum angka 6
(enam), akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan
pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup
kepada daerah, dengan mengacu kepada Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dimana besarnya disesuaikan
dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Daerah.
Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang
diserahkan kepada Daerah menjadi sumber keuangan daerah.
Salah satu komponen utama pelaksanaan desentralisasi dalam otonomi
daerah adalah desentralisasi fiskal (pembiayaan otonomi daerah).[i]
Apabila pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, dan diberikan
kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik,
maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang
berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), termasuk surcharge of taxes, Pinjaman,
maupun dana Perimbangan dari Pemerintah Pusat.[ii]
Pajak Daerah sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dari
pendapatan asli daerah, menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
bersambung dengan Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
ditetapkan dengan Undang-Undang, yang pelaksanaanya di daerah diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Daerah. Kedua pasal tersebut merupakan penegasan dari
apa yang telah diatur oleh konstitusi tertulis, yaitu Undang-Undang Dasar 1945
hasil Amandemen, khususnya Pasal 23A yang menegaskan, bahwa pajak dan pungutan
lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Tujuan daripada reformasi terhadap peraturan perundang-undangan
pajak dan retribusi daerah adalah untuk menyederhanakan dan memperbaiki jenis
dan struktur perpajakan daerah, meningkatkan pendapatan daerah, memperbaiki
sistem administrasi perpajakan daerah dan retribusi daerah sejalan dengan
sistem administrasi perpajakan nasional, mengklasifikasikan retribusi, dan
menyederhanakan tarif pajak dan retribusi.
Perbedaan mendasar
antara pajak dan retribusi adalah terletak pada timbal balik langsung. Untuk
pajak tidak ada timbal balik langsung kepada para pembayar pajak, sedangkan
untuk retribusi ada timbal balik langsung kepada pembayar retribusi. Pajak
daerah dapat diartikan biaya yang harus dikeluarkan seseorang atau suatu badan
untuk menghasilkan pendapatan disuatu daerah, karena ketersediaan berbagai
sarana dan prasarana publik yang dinikmati semua orang tidak mungkin ada tanpa
adanya biaya yang dikeluarkan dalam bentuk pajak tersebut. Pajak merupakan
pungutan yang bersifat memaksa berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.
[i]
Tjip
Ismail, Pengaturan Pajak Daerah Indonesia, Yellow Printing, Jakarta,
2007, hal 12.
[ii]
Machfud
Sidik, Makalah Seminar Nasional, “Desentralisasi Fiskal, Kebijakan,
Implementasi dan Pandangan
ke Depan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah”,
Yogyakarta, 20 April 2002, hal. 5.
No comments:
Post a Comment
Laman Komentar ini dibuka untuk semua orang, Silahkan berkomentar namun tetap menjaga sopan santun (bukan spam), Terima Kasih.